Dihantam Pajak, Hotman Paris: Industri Hiburan Bisa Mati

Hotman Paris Hutapea, pengacara kondang yang juga merupakan seorang pengusaha sepakat industri hiburan saat ini sudah mulai pulih dari Pandemi Covid-19. Namun, karena iklim usaha yang tidak kondusif, ia memastikan bisnis hiburan akan segera mati kembali.
Iklim usaha yang tidak kondusif itu di antaranya adalah pengenaan tarif pajak 40%-75% khusus untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Ketentuan itu tertuang dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Dengan besaran tarif 40% itu, Hotman mengatakan, setidaknya beban pajak yang ditanggung pengusaha hiburan itu kini hampir 100%. Sebab sudah ada beban pungutan lain mulai dari pajak penghasilan (PPh) badan 22%, pajak pertambahan nilai (PPN) 11%, cukai minuman beralkohol, hingga pajak penghasilan karyawan yang menjadi tanggungan https://sportifkas138.site/ perusahaan.
“Intinya begini, sekalipun sudah pemulihan ekonomi, sekalipun di daerah itu turisme nya tinggi banget, hebat banget, sekalipun sudah super hebat ekonomi pulih tapi hampir 100% incomenya diambil itukan mematikan,” tutur Hotman dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Jumat (19/1/2024).
Merujuk pada UU HKPD Nomor 1 Tahun 2022, pajak hiburan dikategorikan sebagai objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Dalam Pasal 58 UU itu ditetapkan tarif PBJT paling tinggi 10%. Namun, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa memang ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Namun, perlu diingat dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu. Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. PBJT dalam UU itu dipungut oleh pemerintah kabupaten atau kota.
Selain masalah tarif pajak itu, Hotman menekankan, tarif tiket pesawat di Indonesia selama ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat iklim usaha industri hiburan khusus tak kondusif. Membuat para pelancong lebih memilih berwisata di Dubai ataupun Thailand, ketimbang ke Bali.
“Relatif sudah pulih memang, tapi Desember kemarin Bali itu benar-benar terjadi penurunan drastis karena sekarang Dubai lagi dikejar turis sama Thailand, Dubai paling top dikunjungi turis selama Desember dan nomor dua Thailand, karena tiket pesawat di Bali sangat mahal,” ucap Hotman.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan mengungkapkan data industri hiburan kini telah pulih dari dampak Pandemi Covid-19. Pajak hiburan khusus yang tarifnya 40-75% pun sudah lama diterapkan daerah pada masa itu.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, pada 2023 total pendapatan daerah dari pajak hiburan sebesar Rp 2,2 triliun. Hampir setara dengan realisasi pada 2019 saat sebelum Covid-19 sebesar Rp 2,4 triliun.
Saat Covid-19 merebak di Indonesia pada 2020 realisasi penerimaan pajak hiburan di daerah memang turun menjadi hanya Rp 787 miliar. Lalu, pada 2021 sudah semakin turun menjadi 477 miliar. Namun, setelah Covid-19 mereda pada 2022 angkanya naik menjadi Rp 1,5 triliun, dan semakin tinggi pada 2023 menjadi Rp 2,2 triliun.
“2023 itu sudah Rp 2,2 triliun, jadi sudah bangkit,” kata Lydia saat konferensi pers di kantor pusat Kemenkeu, Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Pada masa itu pun, Lydia menekankan, tarif pajak hiburan sudah ada yang diterapkan daerah sekitar 40%-75% seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) untuk hiburan khusus. Padahal, kala itu masih berlaku ketentuan UU PDRD yang tak mewajibkan batas minimum 40%.
Ia mengatakan, setidaknya ada 177 daerah yang menerapkan tarif di kisaran 40%-75% pada masa itu, dari total 436 daerah. Terdiri dari range tarif kisaran 40-50% sebanyak 36 daerah, 50-60% sebanyak 67 daerah, 60-70% sebanyak 16 daerah, dan 70-75% ada sejumlah 58 daerah.
“Jadi kalau basenya keputusan pembahasan di DPR itu sudah melihat praktik-praktik pemungtuan di beberapa daerah yang sudah menerapkan 40% itu dengan dasar UU 28/2009, jadi ini bagi daerah bukan sesuatu yang baru,” ungkap Lydia.